Kunsi Sukses Bisnis ISP

Masih hangat dalam ingatan masyarakat bagaimana bisnis ISP (Internet Service Provider) berkembang pesat sejalan dengan diperkenalkannya teknologi internet beberapa tahun yang lalu. Tercatat berpuluh-puluh perusahaan ISP yang telah mendaftarkan diri di Departemen Pos dan Telekomunikasi menawarkan jasa koneksi ke internet backbone dengan tarifnya masing-masing. Portofolio segmen pasar mereka cukup jelas, yaitu individu dan perusahaan (retail dan corporate). Pada awalnya kinerja masing-masing perusahaan cukup menjanjikan, sampai pada suatu titik dimana jumlah pelanggan melewati titik kritis sehingga akses yang ada menjadi lambat akibat bandwidth yang terbatas. Persaingan dalam merebut pelanggan di masa krisis telah membuat sejumlah besar besar ISP terpaksa harus menutup usahanya, sementara yang lain memutuskan untuk melakukan merger dan akuisisi untuk mencegah agar tidak gulung tikar. Belakangan ini bisnis ISP kembali bergeliat setelah diperkenalkannya teknologi VoIP (Voice over Internet Protocol). Akankah kejadian yang sama berulang kembali di dalam industri ini? Ada baiknya fenomena tersebut dicermati secara mendasar, baik dari segi lingkungan mikro maupun makro (Indrajit, 2000).

Secara mikro, kunci dari keberhasilan bisnis ISP sebenarnya terletak pada seberapa tinggi kualitas kemampuan perusahaan dalam melakukan konvergensi terhadap tiga aspek utama, yaitu: computing, communication, dan content. Aspek computing menekankan bahwa komputer merupakan otak atau pusat teknologi dari sebuah perusahaan ISP karena seluruh sumber daya yang ada dikendalikan oleh mesin pintar ini. Tentu saja semakin banyak jumlah pelanggan dan semakin beragamnya jenis pelayanan yang ditawarkan, akan semakin kompleks, besar, dan mahal spesifikasi komputer yang harus dimiliki.

Aspek berikutnya adalah communication, yang menekankan pada seberapa luas jangkauan pelayanan dan seberapa cepat akses koneksi ke internet. Jika faktor luas jangkauan ditentukan oleh cakupan geografis dimana ISP dapat diakses oleh pelanggan, kecepatan akses koneksi akan sangat tergantung dari besarnya bandwidth dan peralatan komunikasi terkait lainnya (seperti router dan modem). Aspek terakhir yang akan sangat menentukan jatuh bangunnya bisnis ISP adalah content. Content didefinisikan sebagai entiti yang dipertukarkan atau diperjualbelikan oleh komunitas melalui koneksi internet. Jika pada beberapa tahun yang lalu content hanya direpresentasikan melalui bit-bit dalam format teks dan gambar (image), maka dewasa ini telah berkembang menjadi audio dan video. Integrasi antara data dalam format teks, gambar, audio, dan video inilah yang melahirkan konsep multimedia yang kelak akan menjadi kebutuhan sehari-hari manusia yang dapat diakses secara online dan realtime di dunia maya (cyber space).

Secara makro, faktor yang relevan untuk dianalisa dan menjadi bahan pertimbangan adalah kecenderungan arah atau trend dari industri telekomunikasi di dunia. Perkembangan internet di Amerika dapat maju secara pesat karena biaya hubungan telepon lokal dan pembayaran listrik telah mencapai tingkatan flat rate (pelanggan membayar biaya yang tetap per bulannya terlepas dari berapa lama mengkonsumsi pulsa telepon dan listrik).  Atau dengan kata lain, secara tidak langsung pulsa telepon lokal telah menjadi “public goods” bagi masyarakat. Tentu saja pelanggan akan memilih untuk melakukan koneksi ke internet melalui infrastruktur telekomunikasi yang telah dimilikinya saat ini, karena selain telah cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka, biayanyapun “gratis”. Untuk hubungan multimedia, sementara ini mereka harus membayar sejumlah biaya terlebih dahulu. Namun biaya ini akan turun secara perlahan-lahan, sesuai dengan strategi pemerintah terhadap seluruh jenis infrastruktur, sampai pada akhirnya nanti mencapai tahapan flat rate. Di Indonesia, keadaan yang terjadi terbalik. Biaya pulsa telepon semakin lama semakin naik, sehingga “sampai kapanpun” masyarakat tidak akan pernah menikmatinya secara “gratis” atau paling tidak dengan biaya yang sangat murah. Keputusan masyarakat untuk mulai mencoba-coba menggunakan VoIP ataupun teknologi internet terkait lainnya sebenarnya tidak saja merupakan dampak dari kemajuan teknologi yang sulit untuk dibendung, tetapi lebih merupakan manifestasi terhadap “ketidakberdayaan” industri telekomunikasi nasional dalam menghadapi era globalisasi. Satu hal yang harus diingat, bahwa ketika pada saatnya nanti konsep perdagangan bebas telah diimplementasikan, batasan negara menjadi tidak relevan lagi. Tidaklah mustahil terjadi nantinya bahwa para pelanggan di tanah air, baik individu maupun perusahaan, akan lebih memilih ISP-ISP dari Singapura, Malaysia, Hongkong, atau bahkan Brunei, karena selain mereka memiliki infrastruktur computing, communication, dan content yang lebih handal, produk dan pelayanan yang mereka tawarkan juga jauh lebih murah, lebih baik, dan lebih cepat (cheaper, better, and faster).

Jadi, mau tidak mau, suka tidak suka, kinerja industri ISP di Indonesia pada saat ini akan sangat tergantung dari regulasi pemerintah. Tidak perduli apakah Telkom dan Indosat akan tetap mendapatkan hak eksklusivitas dari pemerintah atau sebaliknya pemerintah akan menelurkan deregulasi yang mengijinkanpemain-pemain baru masuk di industri telekomunikasi, sejauh masyarakat luas dapat memperoleh akses ke internet dengan harga sangat murah, maka pada saat itu pula perusahaan lokal ISP telah siap berkompetisi dengan pemain global lainnya. Ketika pada saatnya nanti aspek computing dan communication telah menjadi “public goods”, persaingan hanya akan terletak pada unsur content. Pada saat itulah kreativitas perusahaan ISP akan diuji karena bisnis content berarti bisnis kreativitas dan packaging, sesuatu yang menjadi kelemahan besar bangsa Indonesia pada saat ini. We have to become content producers instead of content consumers…

3 Responses

  1. Mari dukung internet biar tambah murah dan masyarakat Indonesia semakin berkembang baik di perkotaan ataupun di daerah terpencil sekalipun.

  2. Wah, info nya mantap.

  3. ada contohnya ga kalo di negara maju apa aja tu content yg digarap?

Leave a comment