Bumerang Electronic Commerce

Tidak dapat disangkal lagi bahwa Electronic Commerce telah menjadi primadona dalam wacana pembicaran dunia bisnis global dewasa ini. Tercatat sejumlah seminar besar mengenai hal ini telah dilakukan oleh para praktisi bisnis dan teknologi informasi di Indonesia selama kurun waktu dua tahun terakhir. Setiap seminar yang diadakan pada intinya adalah memperkenalkan seluk beluk fenomena global yang telah “memaksa” perusahaan untuk mau tidak mau mencermati keberadaan teknologi ini jika ingin tetap bersaing dan mempresentasikan beragam teknologi informasi yang tersedia di pasaran untuk membantu perusahaan meng-“electronic commerce”-kan dirinya dalam waktu yang relatif cepat. Majalah-majalah dan surat kabar-surat kabar berbau ekonomi dan bisnis pun tidak kalah gencarnya mempromosikan mengenai kecanggihan teknologi digital ini. Namun terlepas dari berbagai pandangan dan tanggapan yang ada, terdapat beberapa hal mendasar yang sama sekali belum tersentuh dalam berbagai wacana tersebut. Hal ini menyangkut dampak makro yang akan terjadi seandainya diasumsikan bahwa dunia nanti telah terhubung secara digital, sehingga setiap individu dan korporasi dapat dengan leluasa bertransaksi melalui internet. Berikut adalah permasalahan yang luput menjadi bahan pembicaraan dan pertimbangan selama ini (Indrajit, 2000).

Pertama, belum tentu negara yang paling maju di dunia (Amerika, Jepang, dan negara-negara di Eropa) menjadi negara yang paling diuntungkan dengan kehadiran electronic commerce, bahkan mungkin sebaliknya. Alasannya sangat mudah. Dengan electronic commerce, eksistensi batasan sebuah negara menjadi tidak relevan lagi, karena transaksi terjadi di sebuah komonitas virtual atau yang kerap dinamakan cyber space. Seorang bermental kapitalis murni akan dengan leluasa memilih hidup atau tinggal di negara yang paling murah, melakukan transaksi bisnisnya melalui internet dengan menjual produk dan jasanya di negara yang paling “mahal” (sanggup membeli produk/jasa dengan harga tinggi), dan menyimpan uang hasil usahanya pada bank-bank di negara yang aman. Dalam arti kata, dapat saja Indonesia misalnya ditempati oleh populasi yang banyak, dengan sumber daya manusia yang handal, tetapi hasil keuntungan melalui transaksi bisnis tersebut tidak kembali ke tanah air. Dengan format tersebut di atas tentu saja yang dirugikan adalah negara maju dan negara sedang berkembang, sementara negara-negara seperti Swiss dan Singapura yang terkenal dengan kualitas lembaga keuangannya akan dibanjiri dengan keuntungan “tanpa” harus berbuat sesuatu.

Kedua, keberadaaan cyber space selain meniadakan batasan antar negara membuat segala bentuk proteksi hukum dan ekonomi dari pemerintah setempat menjadi tidak efektif lagi. Bagaimana pemerintah dapat melarang  perjudian sementara beratus-ratus situs internet dari Las Vegas menawarkannya? Bagaimana pemerintah dapat mengontrol capital flight kalau investasi di negara lain dapat dilakukan dengan mudah tanpa meninggalkan rumah? Bagaimana cekal dapat menjadi ampuh jika seorang pejabat dapat melakukan money laundrying dari kantornya? Dengan kata lain, pembatasan-pembatasan berinteraksi antara satu atau sekolompok manusia (komunitas) bisnis melalui aturan-aturan tidak dapat dipergunakan lagi, karena keberadaannya bertentangan dengan hakekat dan arti dari globalisasi itu sendiri.

Ketiga, pemanfaatan electronic commerce secara menyeluruh akan menuju kepada suatu era yang dinamakan sebagai ekonomi dijital (digital economy). Pertukaran barang atau jasa dengan prinsip ekonomi klasik (keuntungan sebesar-besarnya dengan sumber daya yang sekecil-kecilnya) tetap dapat dilakukan, namun ukuran kinerja baik mikro maupun makro yang biasa dipergunakan untuk memonitor tingkat pertumbuhan sebuah entiti ekonomi menjadi tidak relevan lagi. Contohnya adalah dengan isu pertama yang telah dikemukakan, bagaimana pemerintah dapat menghitung GDP maupun GNP suatu negara? Alasan utamanya karena seseorang dapat berada di mana saja, kapan saja, dan melakukan transaksi ekonomi apa saja, tanpa harus secara fisik berpergian. Dan sekuritas yang disediakan oleh penyedia electronic commerce “tidak memungkinkan” pemerintah maupun orang lain untuk memonotir jalannya informasi, produk, dan uang yang mengalir. Keberadaan aliran produk dan jasa (the flow of goods and services) serta aliran uang (the flow of money) yang telah sedemikian bebasnya tidak mustahil dapat membawa dunia kepada format market bebas yang sempurna (perfect free market).

Keempat, kerangka persaingan sempurna (perfect competition) yang selama ini hanya merupakan “hiasan” pada teori ekonomi makro maupun mikro akan dengan mudah menjadi kenyataan. Ada sebuah perusahaan yang sedang “menakut-nakuti” dunia jika mereka bersepakat untuk memasyarakatkan dan mengimplementasikan electronic commerce.  Perusahaan ini mengatakan bahwa dirinya akan menunggu sampai dunia sudah sedemikian tergantung pada electronic commerce sebelum yang bersangkutan mengeluarkan produknya. Produk tersebut adalah peluncuran sebuah situs semacam yahoo.com atau altavista.com yang berfungsi sebagai mesin pencari informasi (searching engine). Katakanlah seorang ayah sedang berniat mencari dan membeli televisi bermerk Sony, ukuran 24 inch, dan multi-sistem.
Sumber: Eko Indrajit, 2000

Melalui situs ini yang bersangkutan tinggal menuliskan spesifikasi kebutuhan tersebut, dan dengan menekan satu tombol, maka aplikasi internet tersebut akan mencari seluruh perusahaan di dunia yang memiliki dan menjual televisi tersebut, serta memiliki pelayanan untuk mengantarkannya sampai ke rumah. Yang luar biasa adalah, bahwa situs tersebut akan menampilkan semua perusahaan tersebut secara urut berdasarkan dari harga yang termurah! Artinya, kalau sebuah perusahaan di Taiwan bersedia menjual dan mengirimkan televisi ke rumah seseorang dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan yang ditawarkan oleh distributor Sony di tanah air, tidak ada alasan lain bagi yang bersangkutan untuk memilihnya. Kalau pemerintah berargumen bahwa tarif dapat dikenakan terhadap barang tersebut, pertanyaannya adalah sampai kapan dan bagaimana teknis proteksi untuk bisnis dalam bentuk jasa (seperti bank, asuransi, telekomunikasi, transportasi, dan lain sebagainya)?

Jika keempat aspek di atas disimak secara lebih baik dan mendetail, sekilas dapat terlihat bahwa dalam suatu format yang ideal, keberadaan electronic commerce lebih merupakan bumerang (ancaman) daripada sebuah senjata persaingan, karena yang sangat berpengaruh dalam hal ini adalah kesiapan sebuah sistem dunia global, bukan superioritas sebuah komponen dalam sub-sistem tertentu. Namun saat ini globalisasi telah berada dalam tahap “the point of no return”. Dengan kata lain, sebenarnya Indonesia tidak perlu takut bahwa dirinya telah tertinggal dari berbagai segi yang berhubungan dengan teknologi informasi (menyangkut infrastruktur dan suprastruktur). Karena dalam era ekonomi dijital nanti, teori Darwin akan menjadi relevan kembali: “Bukan negara yang paling kuat atau yang paling pintar yang akan bertahan dalam dunia bisnis, tetapi justru yang paling cepat dapat beradaptasi dengan perubahan yang akan menang”. Siapa (bukan negara atau bangsa) yang paling cerdik dalam menyusun strategi, dialah yang akan menjadi terbesar.

Leave a comment